Diam – diam saat ini sedang berkecamuk perang dahsyat antara enegi dan pangan. Ibarat lingkaran setan tak berujung, krisis enegi dan pangan terus menghantui dunia. Bagaimana tidak, banyak orang pintar yang dengan kreatifnya mengatasi krisis energi dengan membuat sumber – sumber energi alternative yang berbahan baku dari produk pangan. Seperti energi dari kedelai, ubi, singkong, gandum dll.
Sumber pangan pokok manusia di seantero jagad itu dialih fungsikan menjadi sumber energi alternative. Dampaknya, tentu saja rawan krisis pangan. Harga pangan melambung akibat kelangkaan.
Kedelai misalnya, tembus hingga Rp. 7.500/kg dari Rp. 3.450/kg. Maka jangan heran kalau bangsa ini justru bangga disebut “Bangsa tempe” atau dijuluki “bermental tempe”. Karena, toh, tempe saat ini termasuk barang mewah. Apalagi bahan bakunya pun impor dari negeri Paman Sam. Dan usut punya usut, mahalnya harga kedelai terjadi akibat pengalihan minyak mentah dengan biofuel oleh AS.
Di sisi lain, krisis energi memicu kelangkaan bahan bakar yang banyak dibutuhkan oleh industri pangan. Petani butuh solar untuk traktornya, Nelayan butuh bahan bakar untuk melaut. Pabrik pengolahan makanan butuh “pelicin” agar mesinnya bekerja. Nah…kalau BBM kemudian langka dan mahal, maka produksi pangan pun terseok – seok hingga mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksikan, 1 dasawarsa ke depan (2007 - 2016), bakal terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian secara permanent. Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi produk pertanian dunia.
Perubahan pola konsumsi produk serealia akibat terus meningkatnya permintaan kebutuhan bahan bakar alternative dalam bentuk etanol dan biodiesel, mau tidak mau berpengaruh terhadap komoditas pertanian, seperti beras, jagung, gandum, dan kedelai, baik produksi maupun harganya.
Kondisi ini tak dapat dilepaskan dari situasi perpolitikan dan perekonomian dunia, terutama AS. AS yang menyumbang sekitar 30 % dari produk domestic bruto dunia harus diakui masih merupakan perekonomian terbesar, sekaligus juga pusat keuangan dunia. Dengan demikian, analogi “AS bersin, seluruh dunia ikut demam” masih berlaku.
AS berusaha “menyelamatkan” diri dari kebangkrutan, dengan merekayasa harga minyak dunia. Selama ini, AS menguasai minyak dari hulu sampai hilir. Mulai dari perdagangan, teknologi eksplorasi, produk derivate bahkan modal. Walhasil kenaikan harga minyak dunia mampu menggelembungkan anggaran belanja AS yang sedang sekarat.
Di sisi lain, dunia pun sedang gencar merekayasa program pengembangan bahan bakar nabati (BBN), yang bersumber dari bahan pangan. Brazil misalnya telah mengkonversi 50 % tebunya untuk menghasilkan etanol. AS memproduksi besar – besaran etanol sekitar 23 % dari produksi jagung. Eropa memperkirakan produksi etanol sebanyak 15 miliar liter pada 2016.
Tingginya kebutuhan jagung, gandum, minyak nabati, tebu dan kedelai, menyebabkan berlakunya hokum ekonomi bagi petani. Komoditas yang paling banyak memberikan keuntungan akan diserbu, sedangkan komonitas lain kurang diminati. Akibatnya akan terjadi tarik menarik antara Food for food or Food for fuel. Lantas bagaimana seharusnya????
Krisis Energi Vs Krisis Pangan
Posted by : Plat-KE.online on Minggu, 27 Juli 2008 | Label: paradigma | 1 Comments
Alur Musik Sekarang Aneh....
Kalo kita amati perkembangan dunia musik tanah air sekarang ini benar - benar aneh. Mengapa mereka Group Band katakanlah berlevel tinggi dengan skill musikalitas mereka yang tidak diragukan lagi, justru tidak laku di pasar musik tanah air?? Malah mereka yang biasa - biasa saja justru laku di pasaran dengan nilai jual yang tinggi... Apakah selera musik masyarakat Indonesia sekarang ini benar - benar berubah??
Ambil contoh saja Kangen Band. Band asal Lampung ini awal kemunculannya benar - benar kontroversial. Banyak yang mencemooh. Tapi kenyataannya... lagu - lagu mereka merakyat dan banyak direquest di radio - radio tanah air.
Sedang para senior mereka yang berlevel tinggi sebut saja PADI, mereka justru malah terpuruk.
Memang di akui dari segi fans mereka tetap kuat. Mereka yang benar - benar jatuh cinta dengan misik PADI takkan bisa lari begitu saja.
Lalu bagaimana dengan kondisi musik tanah air?? Akankah terus seperti ini terus mengejar selera pasar?? Kapan musik tanah air akan maju seperti negara barat??
Posted by : Plat-KE.online on Selasa, 08 Juli 2008 | Label: musik | 0 Comments